Saturday, 19 January 2013
DI berbagai hal, seperti dalam hukum adat,
kesetaraan, warisan dan lain-lain, kedudukan kaum wanita Bangso
Batak, masih sangat lemah bila dibandingkan dengan laki-laki.
Hakekatnya, dilihat dari sisi hukum nasional, ketentuannya sangat jauh
berbeda terutama soal warisan. Anak perempuan bukan sebagai ahli waris
tetapi dapat menerima bagian harta warisan sebagai pemberian.
Tragis memang. Diera demokrasi dan emansipasi wanita, hukum adat
Batak sama sekali tidak menunjang yang bisa mendorong kesetaraan dan
keadilan gender. Bisa dibayangkan, Indonesia yang sudah pernah memiliki
seorang presiden wanita,sama sekali belum mampu merubah pola pikir
Bangso Batak untuk menaikkan harkat wanita Batak dalam berbagai hal,
utamanya dalam adat.
Kedudukan perempuan yang sangat lemah ini harus ditinggalkan sebab
bertentangan dengan hak azasi dan jelas merupakan suatu indikasi bahwa
adat Batak ini diskriminatif terhadap perempuan. Seharusnya, umpasa atau
ungkapan pepatah Batak ‘Dompak marmeme anak, dompak marmeme boru”
(Kedudukan anak dan perempuan sama)jangan hanya sekedar teori. Paling
tidak hukum nasional harus bisa diadopsi agar kedudukan kaum wanita
seimbang baik dalam hak mau pun kewajiban.
Masalah ini memang sudah sering menjadi sorotan atau topik
pembicaraan dalam berbagai seminar atau pembahasan secara resmi. Namun
hingga saat ini realisasi untuk perubahan atau kata pendukung untuk
menaikkan harkat wanita ini belum ada.
Pada hal, kalau dilihat dari kemampuan wanita Batak secara nasional
tidak perlu diragukan. Seorang yang namanya Miranda Gultom, sudah pernah
menduduki jabatan sebagai Gubernur Bank Indonesia. Begitu juga yang
namanya Dewi Marpaung sudah pernah merebut gelar melebihi juara pertama
dunia dalam kepiwaian dunia tarik suara.
Masih banyak lagi wanita-wanita Bangso Batak yang telah menunjukkan
kemampuannya dalam berbagai bidang termasuk politik. Namun dalam hal
tertentu belum mampu mendongkrak kaum srikandi ini sebagai penentu atau
mendapat hak dalam adat Bangso Batak.
Sayangnya, di tanah asalnya sendiri, masalah diskriminasi itu
terlihat jelas. Misalnya, dari 30 orang anggota DPRD Tapanuli Utara,
Tobasa, Samosir atau yang lainnya, persentase pemenuhan yang menetapkan
keikutsertaan wanita harus 30 persen sama sekali tidak terpenuhi.
Seperti di Taput hanya dua perempuan yang duduk.
Hal ini tidak tercapai di Taput karena para pimpinan Parpol memang
tidak memberi kesempatan kepada perempuan. Para kaum wanita ini umumnya
mendapat tempat pada nomor urut tidak jadi. Seharusnya kalau mau
konsisten,mereka wajar mendapat porsi utama. Sehingga bukan hanya
omongan saja soal gender tapi pelaksanaannya yang penting.
Untuk mendukung harkat wanita Batak ini, bisa dimulai dengan
pemenuhan persentase pada Pemilu mendatang yang menetapkan harus ada 30
persen perempuan yang duduk di DPRD. Dengan demikian, tata laksana
paradatonpun otomatis akan baik seiring keterlibatan wanita nantinya.
Sebab Undang-undangnya sudah bagus tinggal pelaksanaannya saj.
Di sisi lain, seharusnya melalui sarana parpunguan (perkumpulan)
Bangso Batak, posisi kaum wanita perlu dipikirkan karena sampai hari
ini, belum ada wanita Batak yang ikut menjadi pengurus dalam punguan
tersebut kecuali sebagai pelengkap penderita. Memang pada intinya
perempuan dalam budaya Batak statusnya agak parakdosal.
Untuk mempercepat kesetaraan kau wanita Bangso Batak ini, mereka
harus dapat memotivasi diri untuk maju. Menempa diri dengan berbagai
pendidikan, latihan, kursus keterampilan. Perempuan dalam berbagai
ungkapan memang sangat dihormati sebagai ‘Boru ni raja, Parsonduk Bolon,
Sitiop Puro’ (penentu dalam suksesnya keluarga). Tetapi ini hanya
sekedar ungkapan tanpa memberi posisi sesuai dengan kemampuan wanita
Batak yang intinya bisa mengangkat harkat dan martabat perempuan dalam
adat Batak. Dari berbagai sumber
diambil dari http://www.batakpos.com/
Subscribe to:
Post Comments
(Atom)
0 comments:
Post a Comment