Tuesday, 14 May 2013
Mengukir prestasi menakjubkan di pentas nasional belum tentu akan mendapat apresiasi di kampung halaman. Kalimat ini terasa tepat menggambarkan kiprah dan reputasi arsitek Frederich Silaban (1912-1984). Lahir 16 Desember 1912 di desa Bonan Dolok, Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatera Utara.
Beliau adalah seorang arsitek ternama dalam jajaran arsitek generasi pertama di Indonesia. Arsitek kesayangan Presiden Soekarno ini juga disebut sebagai seorang perintis arsitektur modern Indonesia. Melalui karya-karya arsitekturnya, Frederich Silaban telah memperoleh penghargaaan dari dalam negeri dan luar negeri.
Presiden Soekarno menjuluki beliau ‘By the Grace of God’ karena dia berhasil memenangi sayembara rancangan Masjid Istiqlal ini, yang memang sengaja diadakan untuk mendapatkan arsitektur yang benar-benar sempurna bagi sebuah masjid di negara dengan mayoritas Islam ini.
Frederich Silaban mengarsiteki masjid yang pada awal abad ke- 21 merupakan yang terbesar di Asia Tenggara itu. Oleh karena itu, dalam proses pembangunannya masjid ini disebut telah menyimpan suatu sejarah toleransi beragama yang sangat tinggi.
Setelah Silaban berhasil memenangkan seyembara dengan gambarnya yang berjudul ‘Ketuhanan’ lokasi pembangunan masjid diputuskan di Wilhelmina Park, bekas benteng kolonial Belanda. Karena lokasi yang terletak di depan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat itu tergolong sepi, gelap, dan tembok-tembok bekas bangunan benteng telah ditumbuhi lumut dan ilalang menyemak di mana-mana. Lalu masyarakat, alim ulama sampai ABRI pun turun bahu-membahu bekerja bakti membersihkan lokasi tersebut pada tahun 1960. Dan setahun kemudian, tepatnya tanggal 24 Agustus 1961, pemancangan batu pertama dilaksanakan oleh Ir. Soekarno.
Pembangunan Masjid Istiqlal memakan waktu kurang lebih sepuluh tahun. Hal itu karena pembangunannya memang sempat tersendat oleh krisis ekonomi dan iklim politik yang memanas. Di samping itu, kebetulan pula pembangunan mesjid ini berbarengan dengan pembangunan monumen lain seperti Gelora Bung Karno dan Monas. Meletusnya peristiwa pemberontakan G 30 S PKI pada tahun 1965 juga mengakibatkan pembangunan masjid ini sempat berhenti total. Lalu baru dimulai kembali setelah Menteri Agama KH. M. Dahlan mengupayakan penggalangan dana. Kepengurusan ditangani oleh KH. Idham Chalid yang bertindak sebagai koordinator.
Silaban sang arsitek, merupakan penganut Protestan yang taat. Oleh karena itu, berdirinya masjid ini merupakan bukti sejarah bahwa dulu toleransi antar-umat beragama di Indonesia telah berjalan dengan baik. Umat Islam berlapang hati kendati masjid yang kelak menjadi kebanggan ini diarsiteki seorang non-muslim. Demikian halnya dengan Frederich Silaban, dia menunjukkan kebesaran jiwa dengan terbukanya hati dan pikiran untuk mengerjakan masjid yang sangat monumental itu.
Qubah Mesjid Istiqlal telah diakui Universitas Darmstadt, Jerman Barat sebagai hak cipta Frederich Silaban, yang disebut sebagai "Silaban Dom" (qubah Silaban). Karya dan pemikirannya telah menjadi ajang telaahan apresiatif para akademisi serta praktisi arsitektur di Indonesia. Namanya juga telah termeteraikan sebagai tokoh nasional dalam buku Ensiklopedi Nasional Indonesia.
Setiap kali nama Frederich Silaban disebut selalu memiliki kaitan dengan latar belakang sosial maupun kampung halamannya. Beliau adalah putera kelima dari keluarga petani di desa Bonan Dolok, Dolok Sanggul, Humbahas. Dilahirkan oleh ibu Noria boru Simamora. Ayahnya, Djonas Silaban, adalah seorang sintua Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
Dengan kepiawaiannya dalam bidang arsitektur, Frederich Silaban telah mengukir seberkas sejarah partisipasi seorang putra Humbahas dan orang Kristen Batak di pentas nasional.
Namun di kampung halamannya sendiri, di Dolok Sanggul, Humbahas, arsitek Frederich Silaban tampak nyaris terlupakan. Bukan saja di kalangan masyarakat umum, tetapi hampir semua pemangku kepentingan (stakeholder) termasuk jajaran pemerintahan dalam lingkup Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Humbahas terkesan turut alpa mengapresiasinya.
Kealpaan semacam itu terindikasi dari fakta betapa hingga kini, sepanjang diketahui, belum pernah ada pihak di Humbahas yang secara resmi merealisasikan suatu bentuk penghargaan yang pantas baginya. Bahkan selama ini, wacana yang merencanakan suatu penghargaan pun tidak pernah terdengar nyaring. Mengapa?
Hasil Karya :
Gedung Universitas Nommensen - Medan (1982)
Gelora Bung Karno - Jakarta (1962)
Rumah A Lie Hong - Bogor (1968)
Monumen Pembebasan Irian Barat - Jakarta (1963)
Markas TNI Angkatan Udara - Jakarta (1962)
Gedung Pola - Jakarta (1962)
Gedung BNI 1946 - Medan (1962)
Menara Bung Karno - Jakarta 1960-1965 (tidak terbangun)
Monumen Nasional / Tugu Monas - Jakarta (1960)
Gedung BNI 1946 - Jakarta (1960)
Gedung BLLD, Bank Indonesia, Jalan Kebon Sirih - Jakarta (1960)
Kantor Pusat Bank Indonesia, Jalan Thamrin - Jakarta (1958)
Rumah Pribadi Friderich Silaban - Bogor (1958)
Masjid Istiqlal - Jakarta (1954)Frederich Silaban memenangkan sayembara pembuatan gambar maket Masjid dengan motto (sandi) "Ketuhanan" yang kemudian bertugas membuat desain Istiqlal secara keseluruhan. Istiqlal ini juga merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara pada tahun 1970-an
Gedung Bentol - Jawa Barat (1954)Gedung ini merupakan bagian dari Istana Kepresidenan Cipanas yang terletak di jalur jalan raya puncak, Jawa Barat dan berlokasi tepat di belakang gedung induk dan berdiri di dataran yang lebih dari bangunan-bangunan lain. Gedung yang sering disebut sebagai tempat Soekarno mencari inspirasi dinamakan Gedung Bentol karena seluruh dindingnya ditempel batu alam yang membuat kesan bentol-bentol.
Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata - Jakarta (1953)
Kampus Cibalagung, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP)/Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) - Bogor (1953)Sekolah pertanian ini telah melahirkan sejumlah tokoh kawakan di berbagai bidang. Beberapa di antaranya bahkan pernah menjabat sebagai menteri. Padahal sekolah yang kini berumur seabad ini sejatinya "kawah candradimuka" bagi penyuluh dan teknisi di bidang pertanian.
Rumah Dinas Walikota - Bogor (1952)
Kantor Dinas Perikanan - Bogor (1951)
Tugu Khatulistiwa - Pontianak (1938)Tugu ini dibangun pertama kali pada 1928 oleh seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda. Pada 1938 dibangun kembali dan disempurnakan oleh Frederich Silaban. Pada 1990 dibangun duplikatnya dengan ukuran 5 kali lebih besar untuk melindungi tugu khatulistiwa yang asli. Pembangunan yang terakhir diresmikan pada 21 September 1991
Subscribe to:
Post Comments
(Atom)
0 comments:
Post a Comment