Friday 8 March 2013






Tarian Tor-tor khas suku Batak, Sumatera Utara. Tarian yang gerakannya se-irama dengan iringan musik (magondangi) yang dimainkan dengan alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling, dan terompet batak.

Tari tor-tor dulunya digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh, dimana roh tersebut dipanggil dan “masuk” ke patung-patung batu (merupakan simbol dari leluhur), lalu patung tersebut tersebut bergerak seperti menari akan tetapi gerakannya kaku. Gerakan tersebut meliputi gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan.

Jenis tari tor-tor pun beragam, ada yang dinamakan tor-tor Pangurason (tari pembersihan). Tari tor-tor Pangurason biasanya digelar pada saat pesta besar yang mana lebih dahulu dibersihkan tempat dan lokasi pesta sebelum pesta dimulai agar jauh dari mara bahaya dengan menggunakan jeruk purut.

Ada juga tor-tor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tor-tor Sipitu Cawan ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja, menurut legenda tari berasal dari 7 putri kayangan yang mandi disebuah telaga di puncak Gunung Pusuk Buhit.

Kemudian ada tor-tor Tunggal Panaluan merupakan suatu budaya ritual. Biasanya digelar apabila suatu desa dilanda musibah, maka tanggal ditarikan tari tor-tor, akan ditentukan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab tongkat tunggal penaggalan adalah perpaduan kesaktian Debata Natolu yaitu Benua atas, Benua tengah dan Benua bawah. Dahulu, tarian ini juga dilakukan untuk acara seremoni ketika orangtua atau anggota keluarganya meninggal dunia. Kini, tari tor tor biasanya hanya digunakan untuk menyambut turis.

Dalam perkembangannya tarian tor-tor ada dalam berbagai acara adat Batak, maknanya disesuaikan dengan tema acara adat yang sedang dilakukan. Dan untuk lebih memeriahkan tari tor-tor, sebagian penonton memberikan saweran kepada penari tor-tor yang diselipkan di tangan penari tor-tor dan sang pemberi saweran melakukannya sambil menari tor-tor juga.




Perkembangan Tortor Dipengaruhi Nyanyian Dalam Opera Batak


Budayawan Thompson Hs menilai, perkembangan tari “tortor” banyak dipengaruhi nyanyian melalui “tumba” (gerak tari bersifat minimalis) dalam seni opera Batak, yang banyak dipertunjukan pada 1920 hingga tahun 1980.
“Tari tortor, masuk dalam identitas kebudayaan bangsa sebagai warisan budaya yang banyak berkembang dalam pengaruh nyanyian (ende) melalui tumba dan penampilan seni lakon pada opera Batak,” kata budayawan Thompson Hs di Balige, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara.

Memang, saat ini, lanjutnya, tortor kreasi baru semakin dipengaruhi rekaman musik gondang atau instrumen Barat dan representasinya telah banyak digantikan alat musik elektronik untuk mengiringi tarian tradisi tersebut.

Bahkan, menurut pendiri Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Sumatera Utara itu, beberapa perubahan dalam pola dan gerak tortor telah terjadi melalui kebijakan interaksi kebudayaan dan peran perguruan tinggi, yang mungkin bisa disebut sebagai modernisasi tortor.

Sebagai tarian tradisional Batak, secara umum istilah tortor digunakan di daerah Angkola-Mandailing, Simalungun, dan Toba pada sub kultur (sosio-antropologis) Batak.
“Di daerah Karo, tari tortor dikenal dengan landek dan di wilayah Pakpak, Dairi disebut tatak,” ujar Thompson.


Referensi : Dari berbagai Sumber

0 comments:

Search

Translate


English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese

Flag Counter

Flag Counter

Visit

Hit Counter

Followers